View Single Post
Old 19th December 2012, 07:40 PM  
andi.teguh
[M]
newbie
 
andi.teguh's Avatar
 
Join Date: 22 Sep 2012
Userid: 285
Location: http://www.forumku.com
Posts: 1,375
Real Name: andi teguh
Likes: 0
Liked 228 Times in 169 Posts
Default

Itu sebabnya, Niluh begitu peduli pada proses pembuatan. Satu tukang, jelas dia, bertanggung jawab untuk menyelesaikan sepasang sepatu. Dari memotong bahan, menjahit, hingga membentuk hak sepatu. Tak masalah jika dalam satu hari workshop-nya hanya bisa memproduksi satu pasang sepatu. Sebab, kualitas produk jauh di atas kuantitas.

“Kalau saya melihat lima pasang sepatu yang berjajar di etalase, saya tahu siapa pembuat masing-masing sepatu itu,” kata Niluh. Sebab, antara satu tukang dan tukang lain memiliki gaya yang berbeda, meski hal itu hanya akan tampak di mata Niluh seorang.

Tak disangka, koleksi pertama Nilou langsung booming di Prancis. Pesanan pun membanjir. Hingga 4.000 pasang. Pada 2004, Ni Luh mendapatkan kontrak outsource dari jaringan ritel Topshop yang berpusat di Inggris. Pintu perdagangan ke Eropa kian terbuka lebar.

Di tahun yang sama, seorang perempuan berkewarganegaraan Australia berkunjung ke gerai Nilou di kawasan Seminyak, Bali. Perempuan yang kemudian dikenal dengan nama Sally Power ini mengaku terkesan dengan sepatu Nilou dan menawarkan diri untuk menjadi distributor di Negeri Kanguru.

Nilou semakin tenar. Pada saat bersamaan, desainer-desainer internasional yang berproduksi atau mencari inspirasi di Bali ikut memakai produk Nilou. Dari situlah Niluh memulai hubungan profesional mendesainkan sepatu untuk perancang-perancang busana dunia seperti Nicola Finetti, Shakuhachi, Tristanblair, dan Jessie Hill.

Sejumlah selebriti Hollywood papan atas, seperti Uma Thurman, supermodel Gisele Bundchen dan Tara Reid, dan Robyn Gibson (mantan istri Mel Gibson) merupakan sebagian perempuan yang fanatik memakai sepatu Nilou.

Sepatu made in Bali ini kini dipajang di ratusan etalase di 20 negara di dunia, selain di kantor pusat Nilou di Denpasar. “Kalau Uma beli sepatu Nilou di Saint Barth.” bisik Ni Luh, merujuk ke sebuah pulau kecil di Kepulauan Karibia.

Kalau di awal pendirian Niluh hanya mampu memproduksi 3 pasang sepatu, itupun hanya barang pajangan, Nilou memiliki kapasitas produksi hingga 200 pasang sepatu per bulan.

Dahulu, hanya memiliki dua karyawan, Nilou dibantu 22 karyawan dan 3 asisten kepercayaan. Jika toko pertamanya jauh dari kesan eksklusf dengan tembok kusam, dan berdinding anyaman bambu (gedhek), Nilou telah membuka 36 butik di 20 negara.

Niluh mengakui inspirasi merancang sepatu didapat dari mana saja, baik pada saat sedang membaca buku favorit yang membahas arsitektur dan interior desain maupun ketika berada di Niluh Djelantik atelier bersama para pembuat sepatu.

Ide-ide yang muncul ini biasanya langsung Niluh berikan konsepnya kepada sang shoes maker dan mereka langsung menerjemahkannya menjadi sepasang sepatu yang cantik.

Sepatu-sepatunya kebanyakan memakai bahan baku kulit asli, dikombinasikan dengan karung goni, kuningan, kayu, hingga manik-manik. Atas nama eksklusivitas, Nilou menghargai sepasang sepatunya hingga Rp 4 juta. Omzet perusahaan yang diraih pun terbilang besar, mencapai Rp 800 juta untuk setiap bulan.

Di tengah kesuksesan, cobaan kembali datang. Pada 2007, Niluh mendapat tawaran dari agen di Australia dan Prancis untuk melebarkan sayap. Nilou diproduksi secara massal di Cina dengan iming-iming sejumlah besar saham.

Dengan tegas, Niluh menolak. Dia tak ingin cintanya yang melekat setiap pasang sepatu yang dihasilkan dari workshopnya tergantikan oleh mesin atas nama kapitalisme. “Saya tak mau apa yang dibina dari nol dibawa ke luar negeri. Berkah dari Tuhan kembali ke anak-anak [pengrajin],” kilas Niluh.

Namun, keputusan itu harus menjadi pil pahit. Nilou yang sudah mendunia ternyata sudah didaftarkan pihak lain. Penolakan Niluh tak membuat bergeming. Kongsi pecah. “Mereka tetap jalan dengan mass production bermerek Nilou berbasis di Cina,” ujar Niluh.

Karena alasan itu pula, dia terpaksa membunuh Nilou, brand yang lahir dan tumbuh dari cintanya. Niluh kembali ke belakang layar dengan berkonsentrasi memproduksi sepatu untuk desainer asing. “Yang penting mesin jahit tetap jalan, anak-anak tetap bareng aku, kita gak misah.”





Tak ingin terlalu lama tenggelam dalam kegamangan, Niluh kembali mencoba peruntungan di bisnis sepatu. Kali ini ia berjuang sendiri.

Awal 2008, pecinta shopping dan travelling ini kembali membangun usahanya dengan memproduksi sepatu bermerek “Niluh Djelantik”. Agar tak terulang, brand Niluh Djelantik langsung dipatenkan.

Setahun kemudian high heels buatannya sudah melanglang buana kembali di berbagai negara Eropa, Australia dan Selandia Baru. “Julia Robert memakai produk saya, ketika pembuatan film ‘Eat Pray Love’ di Bali kemarin,” ujar Niluh.

Label baru ini bahkan telah menembus Globus Switzerland pada 2011, yang merupakan salah satu retailer terkemuka di Eropa. Sepatu-sepatu ini mulai dipasarkan pada musim panas 2012. Niluh belum lama ini juga bekerja sama dengan retailer terkemuka untuk membuka Niluh Djelantik di Rusia.

Atas kerja kerasnya, Niluh meraih Best Fashion Brand & Designer The Yak Awards in 2010. Dinominasikan sebagai Ernst & Young for Ernst & Young Entrepreneurial Winning Women 2012 Awards. Sebagai persembahan bagi pecinta high heels, Niluh membuka butik Niluh Djelantik seluas 250 meter persegi di Bali pada pertengahan Maret 2012.

Kisah jatuh bangun bersama high heels dikubur dalam-dalam dan menjadi pembelajaran untuk bangkit bersama Niluh Djelantik. Dia tak pernah menyesali keputusan menolak dan membenamkan Nilou. Keputusan yang memiliki dua konsekuensi, yakni bangkrut karena melawan perusahaan yang lebih besar atau justru berhasil.

“Meski keberhasilan itu tidak semata-mata dinilai dengan uang,” tegas Niluh. Tak terbilang siapa saja pesohor dunia yang memakai Niluh Djelantik, “Karena semua wanita pemakai [sepatu] Niluh Djelantik adalah selebritis buat saya,”

Niluh Djelantik, bagi ibu satu anak ini, bukan lagi sekadar sebuah merek atau butik. Keseharian di factory, butik, hingga hubungan klien sudah seperti keluarga besar. Ada kebahagiaan saat seorang wanita merasa nyaman memakai Niluh Djelantik.

Jauh di lubuk hati, cita-cita untuk terus mengibarkan Niluh Djelantik di kancah internasional terus dipupuk, namun dengan tetap menjaga eksklusivitas. Yang pasti, ekspansi ke negara lain tak akan mengubah prinsip awal Niluh Djelantik yakni ‘dibuat dengan cinta’







sumber
__________________


andi.teguh is offline   Reply With Quote