View Single Post
Old 10th December 2016, 06:29 AM  
Ketua RT
 
Join Date: 3 Oct 2016
Userid: 5572
Posts: 156
Likes: 0
Liked 2 Times in 2 Posts
Default Bagaimana Proses Pengadaan Alutsista TNI dari Amerika dan Rusia?

---- source: https://www.hobbymiliter.com/5061/ba...ika-dan-rusia/ ------- HobbyMiliter.com – Bagaimana Proses Pengadaan Alutsista TNI dari Amerika dan Rusia? Setiap kali ada program pengadaan alutsista TNI, sepertinya selalu ada isu yang berkembang di luaran. Mulai dari soal komisi dan mark up hingga penyimpangan prosedur. Bagaimana sih prosedur sesungguhnya?
Ada sejumlah aspek terkait dalam pelaksanaan pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista) militer maupun pesawat terbang yang dilakukan oleh Instansi Sipil atau Pemerintah.
Di antaranya administrasi keuangan, sertifikasi dan kebenaran kelaikan udara. Termasuk dokumen pesawat terbang. Meliputi Certificate of Production, Certificate of Airworthiness, Certificate of Registration, End user dan Export License. Hal-hal terakhir inilah yang kadang memerlukan penelitian untuk menentukan adanya tindak korupsi, penyimpangan dan pemalsuan. Dengan kata lain, bisa diketahui sejauh mana kebenaran prosedur pengadaannya.
Bisa dibilang alutsista di TNI sejak dulu sebagian besar berasal dari AS dan Rusia. Khusus pengadaan peralatan alutsista dari AS, prdsedur pengadaan dipersyaratkan melalui FMS (Foreign Military Sale). Hal ini merupakan ketentuan yang baku karena jalur prosedur pengadaan melalui FMS pada hakekatnya merupakan pengadaan Government to Government (G to G).
Contoh pengadaan alutsista TNI AU melalui FMS di antaranya pesawat T-34A Fuji Mentor (FMS Aid Program), pesawat T-33 dan OV-10F Bronco. Selain itu ada juga pengadaan pesawat latih dasar T-34C Mentor yang melalui jalur FMS Commercial dengan fasilitas kredit dari FFB (Federal Financing Bank). Pengadaan melalui FMS juga diterapkan dalam pengadaan pesawat F-5E Tiger, F-16A/B Fighting Falcon dan yang terbaru pengadaan F-16C/D. Termasuk persenjataan dan perangkat kelengkapannya. Sejumlah peralatan pendukung pun pengadaannya dilakukan melalui FMS. Antara lain engine test cell, liquid oxygen plant (Lox Plant), precision measurement equipment laboratory (PMEL) dan spectrum oil analysis process (SOAP).
Pengadaan Alutsista TNI F-16C/D melalui proses FMSMaksud dan tujuan pemerintah AS mempersyaratkan pengadaan melalui jalur FMS adalah untuk mengontrol penjualan alutsista. Jadi negara pembeli maupun end user atau pengoperasi terakhir tidak menjual ke negara ke tiga karena alutsista yang dijual tergolong dalam barang barang yang diatur oleh Undang Undang Arms Export Control Act. Selain itu untuk menjamin tidak ada mark up harga maupun komisi bagi pembeli. Komisi agen (agent fee) diadakan bila yang dibeli merupakan produk pabrik di AS dan bukan dari stok yang ada di logistik USAF (AFCL di Robert Patterson AFB Dayton). Misalnya pesawat terbang.
Pengadaan alutsista melalui jalur FMS dapat ditempuh melalui dua jalur. Yaitu commercial atau cash. Jalur commercial menggunakan FBB credit, FMS case. Sedangkan cara cash melalui FFB Federal Financing Bank. Untuk memperoleh loan credit harus memperoleh persetujuan dari DSAA (Defense Security Administration Agency).
Pengadaan melalui FMS selalu disertai formalitas administrasi Letter of Intent dan ditindak lanjuti dengan harga dan ketersediaan (price and availability). Selanjutnya dikeluarkan Letter of Offer and Acceptance. Dalam proses formalitas penerbitan LOO dan LOA selalu melibatkan Kedutaan AS di Jakarta. Dalam hal ini OMADP (Office Military Atachee Defense Program) dan FMS office di bawah koordinasi Atase Pertahanan Rl di Washington DC. Hal ini telah dilaksanakan sebelum embargo tahun 1991. Selain itu, FMS mengharuskan agen luar negeri maupun supplier terterkait dalam proses pengadaan terdaftar di OMADP/Kedutaan AS di Jakarta.
Jalur FMS dipercaya hampir tidak memberikan peluang terjadinya “penyeiesaian di bawah meja”, mengingat ketatnya pengawasan pemerintah kedua belah pihak. Keuntungannya, tidak ada mark up dan komisi bagi pembeli. Sehingga dapat mencegah penyimpangan dalam memperoleh suku cadang maupun komponen penggantian karena tidak dapat diperoleh di luar jalur FMS. Negosiasi dengan agen OMADP di dalam negeri pun tidak perlu menyediakan amplop coklat untuk tim negosiasi dari angkatan.
Mungkin ada rekanan yang menjual dan memasok materil yang termasuk dalam regulasi The Arms of The Export Control Act tetapi tidak melalui jalur FMS kepada salah satu angkatan di TNI. Bila ini terjadi, berarti rekanan tersebut memperoleh dari sumber yang tidak jelas atau bahkan mengambil dari gudang angkatan bersangkutan atau memperoleh barang secara ilegal. Namun hal tersebut pasti ketahuan karena sulit untuk memperoleh export license. Di samping itu semua Serial Number (S/N) barang ada recordnya di AS.
Pengadaan Alutsista TNI Sukhoi Melalui RosoboronexportTambahan lagi, untuk pengadaan peralatan yang termasuk dalam regulasi The Arms Export Control Act, penyediaan pembiayaannya adalah dengan dana devisa. Bukan dana maupun anggaran rupiah.
Di balik sederet keuntungan, jalur FMS memiliki kelemahan yang merugikan pihak pembeli. Antara lain, alutsista yang diberikan kepada negara ketiga untuk dibeli, diprioritaskan pada alutsista yang teknologinya telah dua tahun digunakan US Air Force (AU AS). Meskipun terhitung baru, teknologi alutsista tersebut jelas sudah ketinggaian dengan yang digunakan oleh AU AS.
Selain itu tahapan dalam proses untuk memperoleh keputusan pengadaan alutsista yang diperlukan TNI jelas memakan waktu. Ditambah kendala perbedaan dimulainya tahun Anggaran AS dan Indonesia. Tahun Anggaran di AS dimulai 1 Oktober. Dari segi personel, kendalanya adalah potensi keengganan personel untuk memroses pengadaan G to G/FMS. Alasannya, tentu saja tidak ada potensi komisi dari rekanan seperti pengadaan pada umumnya.
Proses Pengadaan Alutsista TNI Merupakan Kewenangan Presiden

Selain dari AS, Indonesia juga cukup biasa menjadikan Rusia sebagai negara sumber pengadaan alutsista. Termasuk dari negara Cekoslovakia dan Polandia. Pengalaman Indonesia membeli alutsista dari Rusia dimulai sejak tahun 1950-an. Untuk AU, di antaranya pengadaan pesawat MiG-15 UTI, MiG-17, helikopter Mi-4, IL-14/AVIA, Bies TS-8 dan Super Aero.
Tahun 1960-1965, masuk lagi sejumlah alutsista. Antara lain MiG-19, MiG-21, Tu-16, heli Mi-6 dan lainnya. Ditambah peluru kendali SA-75. Pengadaan alutsista menggunakan fasilitas loan dari Rusia. Di antaranya berdasarkan misi Jenderal AH. Nasution, Januari 1962.
Pengadaan Alutsista TNISetelah terbentuknya Federasi Rusia sebagai penerus Soviet yang bubar, prosedur pengadaan materil atau peralatan dari Federasi Rusia dibedakan antara materil untuk sipil dengan militer. Khusus untuk pengadaan materil sipil, termasuk pesawat terbang sipil, prosedur pengadaannya dapat langsung ke pabrik. Atau melalui Prompt Export dan Avia Export. Sekarang Prompt Export dan Avia Export telah dilikuidasi dan digabungkan dengan BUMN Rosvoorouzhenie menjadi Rosoboronexport. BUMN ini khusus menangani penjualan peralatan militer.
Rosoboronexport mempunyai perwakilan resmi di beberapa negara dan umumnya berkantor di luar gedung Kedutaan Federasi Rusia. Demikian pula di Indonesia. Dengan begitu, pengadaan peralatan militer dari Rusia dapat langsung melalui perwakiian tersebut. Bukan melalui perwakiian di negara lain karena langkah ini hanya akan memperpanjang proses dan memperbesar biaya administrasi. Termasuk biaya administrasi perantara.
Prosedur pengadaan alutsista TNI dari Rusia tergantung pada Presiden Rusia karena kewenangan tertinggi ada padanya. Sedangkan untuk lobbying dengan negara calon pembeli dilaksanakan Menteri Pertahanan Rusia.
Untuk pelaksanaannya, dilakukan oleh Rosoboronexport yang selalu berkoordinasi langsung dengan pabrik peralatan militer maupun pesawat terbang. Dengan kata lain, dalam penjualan materil peralatan militer di Rusia ditangani oleh Three Level Structure. Yaitu Presiden, Menteri Pertahanan dan Rosoboronexport.
Alhasil dalam pengadaan peralatan militer di Pusat Kebijakan Federasi Rusia tidak ada kemungkinan mark up. Kecuali bila rantai pengadaannya direkayasa melalui penambahan rantai yang panjang. Seperti pada kasus pembelian helikopter Mi-17 beberapa tahun yang lalu yang melalui Rosoboronexport dan perusahaan swasta di Singapura (pihak ke tiga).
hobbymiliter is offline   Reply With Quote