View Single Post
Old 10th October 2018, 02:10 PM  
Sek Des
 
Join Date: 23 Oct 2017
Userid: 6596
Posts: 232
Likes: 0
Liked 0 Times in 0 Posts
Default Ini Dia sisi Psikologis dan Sosiologis dari Ayat-ayat Cinta 2,

SEMBILAN tahun berlalu semenjak Ayat-ayat Cinta tampil di monitor perak. Sekarang, sekuelnya, Ayat-ayat Cinta 2 atau AAC 2, ada dengan cerita besar yang membuat jadi salah satunya film yang begitu wajar dilihat di penghujung 2017.
Simak juga :*contoh teks eksposisi

Di bioskop, banyak dari mereka yang melihat AAC 2 ialah ibu-ibu muda. Tidak dikit dari mereka membawa juga suami serta buah hatinya yang masih tetap kecil. Bisa jadi, mereka ialah pemirsa yang sembilan tahun yang lalu terbenam dalam narasi Ayat-ayat Cinta serta sekarang mencari pereda rindu.
Artikel Terkait :*teks eksposisi

Buat Anda yang telah melihat AAC 2 ataupun belumlah, di bawah ini penjelasan dari Mochamad Irfan Hidayatullah, Dosen Fakultas Pengetahuan Budaya Unpad serta praktisi literasi di komune Komunitas Lingkar Pena. Selamat membaca.

Dua titik penting
Tiap-tiap film mempunyai titik penting dalam keterhubungannya dengan pemirsa. Titik penting ini pula yang lalu dapat jadikan film spesifik dimasukkan pada jenis spesifik.

Pastinya titik penting itu juga yang dikerjakan penulis skenario serta sutradara film untuk bangun jati diri film yang tengah digarapnya. Akan tetapi, sering film yang tidak maksimal dalam mengerjakan titik penting ini hingga dia tidak berhasil diposisikan oleh penontonnya.

Demikian sebaliknya, banyak yang sukses mengerjakan bukan sekedar satu titik penting hingga dia dapat di nikmati oleh beberapa type pemirsa.

Dengan sosiologis ini bisa saja salah satunya fakta box office-nya satu film. Dalam perihal ini, AAC 2, dalam pandangan saya, mempunyai dua titik penting sekaligus juga, yakni yang psikologis serta yang sosiologis.

Yang psikologis, seperti tidak semenonjol yang sosiologis dalam film ini, tapi jika diamati lebih dalam, film ini menaruh sekam penting disana.

Pada narasi (story, dalam terminologi Chatman yang dipertemukan dengan discourse) diceritakan seseorang Fahri (Fedi Nuril) yang tengah dalam puncak karir akademisnya di Kampus Edinburgh.

Dia jadi profesor bagian filologi di kampus itu. Saat bertepatan, Dia juga mempunyai kehidupan sosial, spiritual, serta ekonomi yang mapan. Dengan sosial dia seseorang tetangga yang baik serta begitu toleransi pada beberapa ketidaksamaan ideologis di sekelilingnya.

Dengan spiritual dia ialah seseorang muslim patuh yang dapat menunaikan kewajibannya menjadi muslim dalam kondisi apapun (film ini dimulai oleh adegan Fahri yang salat di kelas). Tidak ketinggalan, dengan ekonomi Fahri dikisahkan menjadi seseorang entrepreneur yang mempunyai beberapa swalayan tidak hanya tentunya menjadi seseorang dosen.

Kelengkapan kapital (meminjam arti Bourdieu) itu dalam film ini depergunakan untuk mengalahkan yang sosiologis atau ranah yang berbentuk sosial. Masalah multikulturalisme jadi titik penting penting dalam perihal ini. Karenanya, perseteruan yang dibuat ialah pertentangan pada Fahri dengan beberapa tetangganya yang berlainan jati diri ideologis serta kultural.

Resolusi yang diraih diakhir narasi juga adanya rekonsiliasi pada “ideologi” Fahri dengan “ideologi yang lain”. Simpul penting keterleraiannya ialah berbaliknya nenek Katerina (Dewi Irawan) serta Keira (Chelsea Islan) dikarenakan oleh kebaikan sosial Fahri.

Nenek Katerina jadi aktan (meminjam arti Greimas) penolong sebelumnya setelah menjadi penentang. Sesaat Keira berubah dari aktan penentang jadi simpatisan Fahri dalam mencapai Objek, yakni cinta tunggalnya Hulya (Tatjana Saphira).

Cerita psikologis
Hubungan perpindahan naratif itu yang membuat narasi ini seperti cuma bergelut dalam ranah sosiologis serta romansa. Akan tetapi, nyatanya ada cerita (discourse) lainnya dibalik itu semua, dialah yang psikologis.

Cerita psikologis ini lengkapi cerita sosiologis. Cerita sosiologis akan dengan jelas bisa dibaca jika naratif jalinan antarideologi tidak dipandang hanya hubungan narasi.

Pada cerita ini lakuan tokoh Fahri yang berbentuk sosiologis itu sebetulnya sisi dari tegangan psikologis yang cukuplah dalam.

Ada satu scene sebagai pemberi tanda segi ini, yakni waktu Fahri minta nasehat dari Misbah dalam suatu masjid. Saat itu Misbah menyapa Fahri jika jangan-jangan semua kebaikan yang dikerjakannya ialah pelarian dari kegelisahan karena ditinggal Aisha.

Kehadiran Aisha di ruangan psikis Fahrilah yang menukar keikhlasan yang semestinya jadi landasan semua amal Fahri.

Kemauan Fahri untuk penuhi semua amanat Aisha serta keinginan kembalinya Aisha ialah titik penting psikologis yang menggerakan narasi mengarah wawasan. Jika seseorang Fahri Abdullah yang mempunyai modal kehidupan komplet diam-diam nyatanya kehilangan pijakan paradigmatis.

Menurut saya, yang psikologis seperti berikut yang diam-diam merasuk pada jiwa pemirsa memicu beberapa konstruksi cerita yang lain, termasuk juga cerita cinta serta (peluang) poligami.

Menariknya, yang psikologis ini tidak didatangkan dengan polos dalam film. Keapikan akting Fedi Nuril menjadi Fahri mensupport itu semua.

Kegugupan-kegugupan yang ditampakkan dalam melawan beberapa wanita serta waktu melawan aksi-aksi “ekstrem” beberapa tetangganya jadi pemberi tanda ada cerita psikologis itu. Perihal ini pula yang lalu jadikan narasi menarik untuk dibarengi dari cuma gerakan plot satu tokohnya; Fahri. Akan tetapi, bukan sekedar Fahri yang menaruh itu, Aisha juga.

AAC 2 ikut ialah mengenai perjalanan psikologis seseorang Aisha yang bersembunyi dibalik waktu lalunya untuk mengantar Fahri (suaminya) ke hari esok.

Adegan-adegan Aisha di Palestina jadi titik penting buat gerakan Aisha pada keseluruhnya narasi. Cuma, bangunan karakterisasi Aisha diganggu oleh hal-hal lain sebagai twist besar AAC 2 (akan saya ulas nantinya supaya tidak spoiling).

Pada titik berikut kontestasi cerita psikologis pada Fahri serta Aisha menarik untuk dibaca. Akan tetapi, walaupun begitu, tulang punggung narasi ini ialah cerita dua manusia ini; kehadiran wanita-wanita lainnya ialah seperti eksposisi, dramatisasi, lanjutan perseteruan penting, serta bukti dari kepahlawanan Fahri.

Perihal ini dapat bisa dibaca jika keseluruhnya tindakan narasi dimasukkan dalam scene function models (meminjam arti Chatman).

Demikian, yang psikologis jadi keunggulan AAC 2, bahkan juga bila dibandingan dengan AAC (2008) sekallipun. Berat psikologis Fahri yang nampaknya biasa saja pada AAC 2 malah semakin besar dibanding dengan waktu Fahri dilanda malang oleh fitnah Noura sampai ia dipenjara serta diadili pada AAC.

Begitu juga, haru biru cerita temu-pisah Fahri-Aisha dalam AAC kadarnya dibawah cerita psikologis pisah-temu Fahri Aisha pada AAC 2.

Perihal ini, tentunya ikut dibantu oleh aspek kesuksesan Guntur Suharjanto menghidupkan latar Edinburgh dalam narasi hingga cerita yang dibuat jadi riil rasanya.

Islam global
Jika dibaca dengan semiotik, yang psikologis pada AAC 2 bisa jadi lambang buat kehadiran umat Islam global yang tengah terus-terusan berusaha eksis dengan narasi-narasi heroik riwayat atau sirahnya.

Sesaat dengan psikologis terbelah pada fakta yang ada, waktu lantas yang bahagia, serta hari esok yang masih tetap misteri dilanda Islamophobia.

Karena itu, AAC 2 ini juga bisa dibaca menjadi usaha bangun psikologi umat dalam melawan deraan fitnah serta stigmatisasi global atas Islam serta muslim.

Pada titik berikut jika yang psikologis sudah masuk dengan yang sosiologis, film ini mempunyai diferensiasi yang tajam dengan film-film mengenai Islam yang lain serta perihal ini yang dinanti pemirsa apapun agamanya.
ciptarumah is offline   Reply With Quote