View Full Version : Swasembada Pangan dan Pembangunan Irigasi


agusjember
5th November 2014, 10:35 PM
Setelah empat presiden sejak reformasi 1998, upaya untuk swasembada pangan dan menyejahterakan petani masih jauh dari kata berhasil. Berbagai permasalahan, seperti infrastruktur pertanian serta konversi lahan produktif ke sektor properti, terus menekan produktivitas petani kita.

Ironisnya, produktivitas yang rendah dijadikan alasan bagi satu pemerintah ke pemerintahan berikutnya untuk tetap mengimpor produk pangan.

http://i59.tinypic.com/24x26ty.jpg

Impor pangan ini pada kenyataannya hanya membesarkan para pemburu rente atau rent seeking, umumnya adalah oligarki pedagang-pedagang yang besar kemungkinan didalangi oleh oknum penentu kebijakan sehingga dimunculkan istilah ketahanan pangan yang berbasis impor yang sungguh sangat membodohi rakyat Indonesia. Padahal, kedaulatan dan keamanan suatu bangsa tidak bisa dilepaskan dari kedaulatan di bidang pangan.

Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, baru-baru ini, mengungkapkan tekad pemerintah untuk dapat swasembada pangan dalam tiga tahun pertama masa pemerintahan ini. Dia mengungkapkan, “Dalam swasembada pangan terutama adalah: irigasi, bibit, pupuk, mekanisasinya penting, dan jaminan pasar,” kata dia di Jakarta, Selasa (28/10).

Irigasi menjadi salah satu titik lemah upaya swasembada pangan, terutama beras. Data dari Kementerian Pertanian saat ini kurang dari separo sawah di Indonesia yang mendapatkan irigasi memadai. Dengan demikian, pembangunan irigasi merupakan prioritas utama untuk mewujudkan swasembada pangan di samping mencegah terus berkurangnya lahan sawah dan usaha pembukaan sawah baru.

Pembenahan Irigasi dan Realitas Saat Ini

Pemerintah akan membangun bendungan atau dam sebanyak 47 buah yang tersebar di seluruh Indonesia untuk mempercepat swasembada beras dan diharapkan selesai pada 2019. Sampai saat ini, Kementerian Pekerjaaan Umum dan Perumahan Rakyat mendokumentasikan luas lahan sawah beririgasi adalah kurang lebih 7,2 juta hektare/ha (Kementerian Pekerjaan Umum, 2010) dan hampir seluruh sistem irigasi tersebut memperoleh air dari bendung (weir).

Pembangunan bendungan sebanyak itu diharapkan akan meningkatkan keandalan air irigasi karena jumlah bendungan di seluruh Indonesia saat ini hanya sekitar 300 buah dan hanya mengairi sekitar 11 persen dari total luas sistem irigasi yang ada.

Keberhasilan pembangunan dan pengelolaannya bergantung pada beberapa hal, yaitu (i) masalah pembebasan lahan, (ii) kondisi sosial ekonomi warga, dan (iii) upaya konservasi hulu daerah aliran sungai (DAS).

DAS sebelah atas/hulu sering tidak digunakan untuk daerah konservasi, tapi dialihfungsikan lahan budi daya tanaman semusim lahan kering. Kondisi sosial ekonomi warga yang akan dikorbankan memerlukan penyelesaian yang adil. Sebagai contoh pembangunan Bendungan Jati Gede di Jawa Barat mengalami keterlambatan dalam pembangunan fisik bendungan karena masalah sosial ekonomi warga.

Konservasi DAS untuk menjaga keberlanjutan waduk yang seharusnya terus dilakukan sering luput dari perhatian karena ego sektoral birokrasi dan kurangnya kepedulian warga. Debit air sungai sebagai sumber air untuk irigasi perlu dijaga dengan melakukan konservasi DAS dan operasi dan pemeliharaan (OP) aliran sungai secara sepadan. Bila hal ini diabaikan, waduk cepat sekali habis umur teknisnya karena sedimentasi dan berkurangnya debit air yang masuk.


Dibutuhkan 3-4 Tahun sampai Sawah yang Baru Dicetak baru Menghasilkan

Dengan membangun bendungan, pemerintah mencoba mengatasi masalah irigasi dengan hanya berdasarkan pendekatan kebijakan untuk meningkatkan penyediaan air irigasi saja. Peraturan Pemerintah No 20 Tahun 2006 tentang Irigasi telah merumuskan keandalan kinerja sistem irigasi bergantung pada lima pilar, yaitu (i) ketersediaan dan kecukupan air irigasi, (ii) insfrastruktur, (iii) sistem pengelolaan irigasi, (iv) institusi-institusi, dan (v) sumber daya manusia.

Kelima unsur atau pilar pengelolaan irigasi tersebut saling berkaitan. Perlu disadari bahwa pembangunan prasarana irigasi sekarang tidak serta-merta dapat menghasilkan produksi pada waktu bersamaan. Masih dibutuhkan 3-4 tahun agar sawah yang dicetak sekarang dapat menghasilkan produksi pertanian seperti yang diharapkan.


Pembenahan Birokrasi

Pernyataan menteri pertanian yang mengatakan akan merehabilitasi jaringan tersier seluas 1 juta ha tentu kita dukung. Tetapi perlu diingat jaringan tersier yang akan direhabilitasi oleh Kementerian Pertanian harus memperhatikan kompetensi instansi dinas pertanian kabupaten.

Saat ini, hanya sedikit staf kabupaten yang memunyai kemampuan merancang jaringan tersier. Akibatnya, banyak peningkatan jaringan tersier melalui progam jaringan usaha tani (JITUT) dan peningkatan jaringan irigasi desa (JIDES) sangat tidak efisien dan efektif. Untuk itu, dinas pertanian kabupaten harus berkoordinasi dengan dinas sumber daya air yang memunyai kompetensi.

Sampai saat ini, OP irigasi yang dilakukan masih dalam upaya peningkatan mutu, menjaga mutu masih sering terabaikan, lebih bersikap build, neglect, and rebuild. Sikap yang kurang terpuji ini jangan lagi terulang. Pada pelaksanaan biaya OP irigasi yang dikeluarkan juga harus sesuai dengan angka kebutuhan nyata operasi dan pemeliharaan (AKNOP) agar sistem irigasi tetap terjaga keberlanjutannnya.

Untuk daerah irigasi (DI) kewenangan pemerintah pusat pelaksanaan OP irigasi sudah dialihkan pelaksanaannya kepada provinsi melalui program Tugas Pembantuan Operasi Pemeliharaan (TPOP) meski banyak kendala yang dijumpai, salah satunya adalah kurang koordinasi antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten dalam pelaksanaan OP irigasi.

Institusi pengelolaan irigasi sangat lemah dalam pelaksanaannya, banyak DI yang dikelola tidak atas dasar Peraturan Menteri (Permen) Pekerjaan Umum No 32 Tahun 2007 tentang Operasi Irigasi. Akibatnya adalah sebagian besar DI kurang dapat memenuhi indikator kinerja irigasi seperti yang diharapkan dalam Permen PU No 32 Tahun 2007.

Koordinasi antar pelaku irigasi, baik di aras kabupaten maupun provinsi, kurang dapat berjalan dengan baik. Komisi Irigasi sebagai wadah koordinasi pelaku irigasi di daerah tidak berjalan dengan baik. Kesulitan pendanaan serta masalah superioritas-inferitas menjadi kendala utama dari pelaku.

Seperti diketahui, anggota komisi yang berasal dari petani akan selalu bersikap inferior terhadap anggota komisi yang berasal dari birokrasi. Anggota komisi juga akan bersifat inferior kepada kepala intitusi sebagai atasannya di kantor.

Lebih parah lagi pelaksanaan pengelolaan irigasi di aras pusat dengan kementerian terkait tidak ada koordinatornya. Koordinasi antarsektor inilah yang menjadi salah satu sebab kegagalan kegagalan program surplus 10 juta ton pada tahun 2014.

Irigasi Partisipatif Berbasis Kerakyatan sebagai Solusi

Pemberdayaan petani dalam pengelolaan irigasi termasuk kewenangan pemerintah kabupaten dan itu jarang dilakukan dengan baik. Salah satu penyebabnya adalah tata aturan pemberdayaan petani yang tumpang tindih. Menurut PP No 20 Tahun 2006, pemberdayaan petani dilakukan oleh pemerintah kabupaten di bawah dinas yang membawahi pengelolaan irigasi.

Untuk itu, menteri PU telah mengeluarkan Permen PU No 33 Tahun 2007, tetapi dengan dikeluarkannya PP No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan, pemberdayaan petani menjadi kewenangan Kementerian Pertanian dan di daerah dilakukan oleh dinas pertanian. Tumpang tindih pemberdayaan juga terjadi di dinas pertanian dan badan ketahanan pangan yang juga bertugas untuk melakukan penyuluhan pertanian.

Ulasan di atas menunjukkan bahwa kebijakan irigasi untuk menunjang swasembada pangan, terutama beras, masih sangat dibutuhkan. Pembangunan infrastruktur irigasi yang diselaraskan dengan kebijakan pengelolaan irigasi partisipatif dan pengelolaan irigasi berbasis kerakyatan sangat dinantikan. Pengelolaan irigasi dari kearifan lokal seperti subak di Bali perlu digali dan dikembangkan di daerah lainnya.

Kompleksitas permasalahan irigasi dalam mewujudkan swasembada pangan seperti dalam uraian di atas tidak bisa diselesaikan tanpa reformasi birokrasi di departemen yang terkait. Diperlukan revolusi mental birokrasi secara menyeluruh, tidak terkecuali di sektor pertanian yang merupakan salah satu tulang punggung kedaulatan nasional. Tanpa itu, kita tidak bisa berharap banyak pemerintah akan mampu mewujudkan tekad mencapai swasembada pangan dan kesejahteraan petani Indonesia.


sumber: http://www.koran-jakarta.com/?23388-swasembada-pangan-dan-pembangunan-irigasi

Mudah-mudahan pemerintah baru semakin peduli terhadap nasib para petani!

Hendy
25th February 2016, 07:21 PM
Masalahnya terlalu kompleks dan banyak campur tangan berbagai pihak ..... pemerintah harusnya bertanggung jawab penuh ..........

klpgfesripl
29th September 2016, 03:12 PM
swasembada sejak pergantian kepresidenan tetap saja tidak ada kemajuan... flat seperti biasanya...

klpgfesripl
29th September 2016, 03:15 PM
swasembada sejak pergantian kepresidenan tetap saja tidak ada kemajuan... flat seperti biasanya... :(rofl):