agusjember
16th November 2014, 12:23 PM
BAHKAN untuk sebuah rumah, bagian depan dan belakang sama pentingnya, apalagi bagi sebuah negara. Sayang, bagi negara bernama Indonesia, bagian depan dan belakang ini hanya seperti permainan istilah yang tidak pernah dianggap penting.
Itulah yang terjadi di daerah-daerah perbatasan kita yang sejak beberapa tahun lalu dijanjikan berubah. Perbatasan bukan lagi halaman belakang, melainkan merupakan beranda depan. Sebagai beranda depan, semestinya perbatasan menjadi etalase segala kegemilangan bangsa ini.
Pertumbuhan ekonomi yang digembor-gemborkan telah tercapai harusnya juga terlihat di perbatasan. Terlebih pada 2010, pemerintah mendirikan badan khusus untuk memoles halaman depan ini, yakni Badan Nasional Pengelola Perbatasan.
Nyatanya sampai sekarang, wajah wilayah perbatasan tetap suram. Jangankan pertumbuhan ekonomi, benderangnya listrik pun hal yang asing bagi banyak anak perbatasan. Sementara itu, hanya berjarak beberapa kilometer, kehidupan jauh lebih baik ada di negara tetangga.
Tidak mengherankan bila banyak warga perbatasan kita menyeberang ke Malaysia. Contohnya lebih dari setengah warga Kecamatan Lumbis Ogong, Nunukan, Kalimantan Utara, pindah ke negeri jiran. Desa Kinokod telah kosong melompong ditinggal warga. Hal serupa juga tinggal menunggu waktu di Desa Sumantipal dan Sinapad.
Bukan bermaksud membesar-besarkan, bila itu dibiarkan, eksistensi negara kita di sana bakal tinggal sejarah. Apalagi, hal tersebut pernah terjadi ketika pada 1984, sebagian warga Kecamatan Lumbis Ogong dilaporkan berpindah kewarganegaraan Malaysia. Bukankah eksistensi negara ada karena keberadaan warga negara?
Kehadiran patok tidak selamanya berguna. Tanpa rakyat yang sejahtera, patok ataupun simbol-simbol perbatasan hanyalah benda mati yang bisa dipindahkan dan dipalsukan. Maka, tidak peduli apakah menjadi halaman depan atau belakang, wilayah perbatasan merupakan bagian penting negara ini. Jika wilayah itu tidak dikelola dengan baik, yang ada hanyalah halaman kosong yang mudah disusupi.
Ancaman itu pula yang telah terjadi di Nunukan. Akibat besarnya eksodus warga, Malaysia telah mengklaim ketiga desa itu sebagai wilayah mereka. Bukan tidak mungkin klaim tersebut bakal meluas bila negara absen, tak melakukan hal-hal berarti.
Jalan mulus dan pembangkit listrik yang dibangun pemerintah Malaysia hingga ke pelosok merupakan diplomasi halus. Namun, ia punya kekuatan yang bahkan bisa mengalahkan nasionalisme. Sudah saatnya pemerintahan Presiden Joko Widodo serius memajukan wilayah perbatasan. Tentunya pekerjaan itu bukanlah tugas pemerintah semata, melainkan juga swasta.
Di sisi lain, wilayah perbatasan memang bukan wilayah gersang yang tidak punya daya tarik. Seperti yang dilakukan Malaysia pada Ligitan, selepas merebutnya dari tangan Indonesia, mereka sukses mengubahnya jadi situs diving kelas dunia. Perbatasan bukan lagi wilayah yang melulu harus dijaga dengan senjata api, melainkan dengan senjata kesejahteraan bagi warga yang tinggal di sana.
sumber: http://www.mediaindonesia.com/editorial/view/270/Menyejahterakan-Perbatasan/2014/11/15
Tantangan berat buat pemerintahan Jokowi!
Itulah yang terjadi di daerah-daerah perbatasan kita yang sejak beberapa tahun lalu dijanjikan berubah. Perbatasan bukan lagi halaman belakang, melainkan merupakan beranda depan. Sebagai beranda depan, semestinya perbatasan menjadi etalase segala kegemilangan bangsa ini.
Pertumbuhan ekonomi yang digembor-gemborkan telah tercapai harusnya juga terlihat di perbatasan. Terlebih pada 2010, pemerintah mendirikan badan khusus untuk memoles halaman depan ini, yakni Badan Nasional Pengelola Perbatasan.
Nyatanya sampai sekarang, wajah wilayah perbatasan tetap suram. Jangankan pertumbuhan ekonomi, benderangnya listrik pun hal yang asing bagi banyak anak perbatasan. Sementara itu, hanya berjarak beberapa kilometer, kehidupan jauh lebih baik ada di negara tetangga.
Tidak mengherankan bila banyak warga perbatasan kita menyeberang ke Malaysia. Contohnya lebih dari setengah warga Kecamatan Lumbis Ogong, Nunukan, Kalimantan Utara, pindah ke negeri jiran. Desa Kinokod telah kosong melompong ditinggal warga. Hal serupa juga tinggal menunggu waktu di Desa Sumantipal dan Sinapad.
Bukan bermaksud membesar-besarkan, bila itu dibiarkan, eksistensi negara kita di sana bakal tinggal sejarah. Apalagi, hal tersebut pernah terjadi ketika pada 1984, sebagian warga Kecamatan Lumbis Ogong dilaporkan berpindah kewarganegaraan Malaysia. Bukankah eksistensi negara ada karena keberadaan warga negara?
Kehadiran patok tidak selamanya berguna. Tanpa rakyat yang sejahtera, patok ataupun simbol-simbol perbatasan hanyalah benda mati yang bisa dipindahkan dan dipalsukan. Maka, tidak peduli apakah menjadi halaman depan atau belakang, wilayah perbatasan merupakan bagian penting negara ini. Jika wilayah itu tidak dikelola dengan baik, yang ada hanyalah halaman kosong yang mudah disusupi.
Ancaman itu pula yang telah terjadi di Nunukan. Akibat besarnya eksodus warga, Malaysia telah mengklaim ketiga desa itu sebagai wilayah mereka. Bukan tidak mungkin klaim tersebut bakal meluas bila negara absen, tak melakukan hal-hal berarti.
Jalan mulus dan pembangkit listrik yang dibangun pemerintah Malaysia hingga ke pelosok merupakan diplomasi halus. Namun, ia punya kekuatan yang bahkan bisa mengalahkan nasionalisme. Sudah saatnya pemerintahan Presiden Joko Widodo serius memajukan wilayah perbatasan. Tentunya pekerjaan itu bukanlah tugas pemerintah semata, melainkan juga swasta.
Di sisi lain, wilayah perbatasan memang bukan wilayah gersang yang tidak punya daya tarik. Seperti yang dilakukan Malaysia pada Ligitan, selepas merebutnya dari tangan Indonesia, mereka sukses mengubahnya jadi situs diving kelas dunia. Perbatasan bukan lagi wilayah yang melulu harus dijaga dengan senjata api, melainkan dengan senjata kesejahteraan bagi warga yang tinggal di sana.
sumber: http://www.mediaindonesia.com/editorial/view/270/Menyejahterakan-Perbatasan/2014/11/15
Tantangan berat buat pemerintahan Jokowi!