View Full Version : Penyebab Likuifaksi Demokrasi di Indonesia


ciptarumah
17th November 2018, 08:03 AM
PANGGUNG politik Pemilu Presiden/Wakil Presiden (Pilpres) saat ini miskin gagasan dan narasi besar bagi bangsa dan rakyat Indonesia, tetapi kaya dengan hoaks, hujatan dan cacian. Hal ini terlihat dalam kontestasi elektoral di media sosial yang kian menjauhkan publik dari menemukan pendidikan politik yang mencerahkan.

Publik lebih banyak disajikan informasi subjektif yang sentimentil, tidak rasional dan penuh dengan getaran kebencian. Narasi besar lenyap dalam pertikaian antar juru bicara kedua kubu baik di kaca televisi maupun di media sosial.

Akibatnya, survei Lingkaran Survey Indonesia (LSI) mencatat bahwa 75 persen masyarakat khawatir pada hoaks (Serambi, 24/10/2018).

Kebohongan juga menjadi penopang panggung Pilpres. Asas-asas moral runtuh ketika berbagai aib politik dan pribadi dibuka, bahkan keluarga para politisi juga diserang secara verbal atas dasar perbedaan sikap politik.

Diskusi di televisi tidak memiliki adab yang patut ditonton oleh generasi muda yang kita inginkan hidup dalam keadaban politik.

Pemakaian frase-frase kasar kerap terlontar dari bibir juru bicara tanpa mempertimbangkan kelayakan penggunaannya di depan umum. Celakanya, televisi kita tidak menerapkan sensor pada bahasa-bahasa kasar tersebut, sebagaimana sensor yang diberlakukan di dunia sinema.

Tidak ada diskualifikasi terhadap para juru bicara atau tim kampanye yang memakai kata-kata kasar dalam panggung debat di televisi.

Untuk melakukan analisis terhadap fakta-fakta tersebut, sebuah kajian reflektif-filosofis-historis dari para pengkritik demokrasi layak dikemukakan.

Demokrasi walaupun disebut sebagai sistem politik terbaik saat ini, pada kenyataannya baik di masa awal kelahirannya, maupun dalam negara modern yang menginstalasi demokrasi sebagai sistem politik, masih dianggap sebagai suatu sistem yang patut untuk terus dikritisi.

Pikiran-pikiran reflektif tersebut bukan merupakan sikap anti-demokrasi secara substansial, tetapi merupakan faktualisasi dari pemikiran politik ideal yang seharusnya hadir dalam dunia politik.

Bagi Plato dan Aristoteles, demokrasi bukanlah sistem politik yang baik. Guru mereka, Socrates dihukum dengan cara meminum racun Hemlock oleh rezim demokratis saat itu.

Demokrasi merupakan kemerosotan dari sistem oligarkis yang cenderung memperkaya diri, korup, dan penyimpangan dari tujuan kehidupan bernegara.

Plato dengan gamblang mengemukakan kritiknya terhadap demokrasi dengan ungkapan, “mereka adalah orang-orang merdeka, negara penuh dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara, dan orang-orang di dalamnya boleh melakukan apa yang disukainya...” (Rapar, 2001).

Baca Juga: demokrasi liberal (http://bospengertian.com/pengertian-demokrasi-liberal/)

Penuh kebebasan
Panggung politik benar-benar penuh kebebasan, yang penuh dengan kekerasan verbal yang diperlakukan secara permisif atas nama politik.

Baca Juga: dasar negara indonesia (http://bospengertian.com/arti-pancasila-sebagai-dasar-ideologi-negara/)

Plato mengkritik hal ini dengan mengamati satu even rezim politik demokratis di Athena dan Sparta yang keras, dengan menggambarkan bahwa ketika setiap orang berbuat sesuka hatinya timbullah berbagai tindakan kekerasan (violence), kekacauan (anarchy), kejangakan (licentiuosness), dan ketidaksopanan (immodesty).

Artikel Terkait: sistem pemerintahan di indonesia (http://bospengertian.com/sistem-pemerintahaan-indonesia/)

Namun, semua hal negatif ini diperhalus oleh rezim demokratis Athena saat itu dengan mengatakan bahwa kekerasan adalah pendidikan yang baik (good breeding), anarki adalah wujud kebebasan (liberty), kejangakan adalah kebaikan yang sempurna (magnificence), sedangan ketidaksopanan adalah keberanian (Rapar, 2001).

Dalam alam pemikiran politik modern, demokrasi juga dikritik sebagai sesuatu yang tidak dapat dipindahkan dari tradisi Eropa di mana sistem politik ini lahir.

Adalah Nancy Barmeo (2009) dalam tulisannya, Conclusion: Is Democray Exportable? menyimpulkan bahwa demokrasi tidak dapat dieskpor. Karena, menurutnya, prasyarat demokrasi seperti konstitusi, pemilu yang jujur, hak untuk memilih, hak untuk menjabat, kebebasan berekspresi, kebebasan atas informasi dan berkelompok, harus mengakar dan tercermin dalam kebiasaan tingkah laku dan norma-norma lokal secara nyata (Yudi Junadi, 2012).

Artinya, setiap sistem masyarakat dan kebudayaan memiliki peradaban dan sistem politik yang berbeda-beda.

David Runciman (2012) membuka lebih dalam aib panggung politik liberal-demokratis dengan menyebutnya sebagai politik dua muka. Para politisi bisa tersenyum saat berhadap-hadapan, tetapi pada saat yang sama mereka sedang saling menghabisi satu sama lain.

Mereka berpelukan di panggung politik, tetapi di saat yang sama mereka sedang bertarung untuk saling menjatuhkan. Inilah political hipocricy (politik dua muka) yang disebut Runciman sebagai sifat buruk “yang biasa” di panggung politik.

Dalam sejarah penerapan demokrasi Indonesia, sejak awal sudah memperlihatkan paradoks demokrasi sebagaimana digambarkan para pengkritik demokrasi. Tahun 1955 merupakan tahun politik pertama dalam sejarah Indonesia.