View Full Version : Beginilah Kelanjutan Laga Brutal Tanpa Henti Dalam 'The Night Comes For Us'


steven99
26th July 2019, 07:47 PM
The Night Comes for Us dibikin oleh pria dewasa hilang ingatan yang wujudkan mimpi basah waktu kecilnya (serta beberapa kelompok pirsawan) . Jawara terlampau kuat yang hampir tidak terkalahkan dengan kawan-kawan yang bersedia pasang tubuh, karakter-karakter dengan penampakan, kekuatan, dan latar bagus, serta tentu saja perkelahian buat perkelahian. Pada waktu bocah, kartun dengan formula di atas jadi hoby saya. Berikan kartun itu pada seorang dibalik Rumah Dara serta Safe Haven, jadilah santapan pertandingan yang cuma satu tingkat lebih “realistis” ketimbang Riki-Oh : The Story of Ricky.
Simak Juga :* contoh eksposisi (http://arenabelajar.com/contoh-teks-eksposisi-singkat/)

Saya membubuhkan sinyal petik pada kata “realistis” sebab hakikatnya, dari sudut pandang umum, film ke dua Timo Tjahjanto selama 2018 ini jelas tak butuh pemikiran, baik dalam pengerjaan atau proses pirsawan menikmatinya. Di sini, seorang masih dapat lancarkan pukulan walau ususnya berhamburan. Dunia yang Timo bangun yaitu dunia sarat kekerasan dimana sadisme serta pembunuhan sebagai makanan seharian manusia di dalamnya . Lumrah, karena pada dunia ini Triad menggenggam kendali. Bahkan juga protagonis kita jadi salah satunya pentolannya sebelum membelot.


Ito (Joe Taslim) sebagai salah satunya anggota Six Seas, enam pria serta wanita pilihan dengan jatidiri misterius yang bekerja mengawasi kedisiplinan. “Menjaga keteraturan” di sini bermakna menghalalkan semua langkah supaya seluruh pihak patuh pada Triad, terhitung menghajar seisi kampung. Tetapi disaat diwajibkan membunuh gadis cilik bernama Reina (Asha Kenyeri Bermudez) , Ito meredam pelatukan, lalu balik menghabisi anak buahnya. Menampik tinggal diam, Triad berkirim banyak pembunuh terbaik, terhitung Arian (Iko Uwais) , yang telah bagai saudara kandung Ito.

Seterusnya yaitu 2 jam pertempuran tiada henti yang cuma kadang-kadang melambat disaat Timo rasakan butuh menyisipkan dikit flashback, dikit pembangunan ciri-ciri, serta tambah banyak peluang untuk pirsawan bernapas. Narasi tulisan Timo tidak dalam. Sekedar eksposisi dingin tanpa ada emosi, terkecuali waktu Reina serta Ito duduk bersama-sama sehabis selamat dari upaya pembunuhan. Setitik hati film ini nampak disaat sesaat berubah ke arah cerita perihal bocah polos yang melihat kebrutalan dunia tersaji di hadapannya, serta bukan kemungkinannya kecil, akan memengaruhi pertumbuhannya.


Tetapi itu narasi di lain hari. The Night Comes for Us tidak miliki, atau pasnya tidak menyempatkan diri, untuk eksplorasi dramatik. Sebab ini yaitu proses Timo meluapkan visi gilanya sekaligus juga mengetes seberapa jauh ia dapat membungkus tiap-tiap kematian sekreatif mungkin. Bola-bola biliar, taser pembawa tarikan pacu senapan, sampai tulang sapi cuman segelintir contoh. Pastilah semua berbuntut muncratan darah bahkan juga potongan badan berhamburan. Disaat seorang terserang ledakan, kita lihat serpihan badan mereka.

Gerak camera Gunnar Nimpuno (Modus Penyimpangan, Pendekar Tongkat Emas, Killers) mungkin belum semumpuni Matt Flannery dalam dwilogi The Raid masalah tangkap koreografi hasil Iko Uwais—yang seperti biasa, sulit yang kaya variasi—tapi cukup jadi pemberi dinamika dan bikin pirsawan rasakan efek dari beberapa pukulan serta tusukan. Sesaat musik garapan duet maut Fajar Yuskemal-Aria Prayogi (The Raid, Headshot) yang mengkombinasikan nomer elektronik serta classic ditambah beberapa pilihan lagu menarik dari Timo (Tidak suka buat Mencinta dari Naif paling mencolok) setia menyertai di belakang. Artikel Terkait :*kaidah kebahasaan teks eksposisi (http://arenabelajar.com/struktur-teks-eksposisi/)


Sukar menentukan mana pertempuran terpilih, tetapi 3 salah satunya demikian terkesan. Pertama waktu Fatih (Abimana Aryasatya) , Bobby (Zack Lee) , serta Wisnu (Dimas Anggara) melawan pasukan suruhan Yohan (Revaldo dalam comeback menakjubkan) . Zack Lee menggila dan Abimana memberikan tambahan berat dramatik plus kematangan mengatasi dialog yang tidak tersangka ada di film ragam ini.

Ke dua, pada waktu dwi pembunuh lesbian anggota Lotus (satu panggilan yang menarik digali apabila ada film kelanjutan) , Elena (Hannah Al Rashid) serta Alma (Dian Sastrowardoyo) mengepung The Operator (Julie Estelle) . Diawali di kamar lalu bersambung ke lorong penuh potongan badan manusia, sekuen ini perlihatkan kemampuan ke-3 aktris. Dian melalui kesintingan yang belumlah sempat dia tampakkan (terhitung improvisasi menjilat tangah Hannah) , Hannah yang memberikan keyakinan memainkan koreografi, Julie Estelle yang satu kali lagi perlihatkan jika dia aktris pertandingan nomer satu Indonesia sekarang. Ciri-ciri yang dapat memotong jari tangannya demikian enjoy seperti The Operator jelas butuh dibuatkan filmnya sendiri.


Ke-3 pastinya klimaks Joe menentang Iko yang seperti ringkasan keseluruhnya film : sadis sekaligus juga berwarna. Joe dengan model bertanding lebih eksplosif serta Iko melalui kecepatan taktis yang tidak kalah “meledak”, saling tembus batas, baik dari sisis sifatnya yang bertanding sampai titik (atau banjir? ) darah penghabisan, atau perjuangan kedua-duanya sebagai aktor. Tiadanya sistem oke punya harapan jadikan perjalanan filmnya melelahkan utamanya di pengalaman memirsa pertama, tapi The Night Comes for Us sebagai satu diantara dikit santapan pertandingan kekinian yang akan suka cita saya datangi masa memerlukan hiburan, baik komplet atau parsial untuk nikmati pertarungannya lewat cara terpisah.