forumku.com logo Forumku Borobudur Budaya Indonesia
forumku  

Go Back   forumku > >
Register Register
Notices

Forumku Middle East Timur Tengah Main Forum Description

Post New Thread  Reply
 
Thread Tools Search this Thread Display Modes
Old 1st March 2018, 12:04 PM   #1
KaDes Forumku
 
Join Date: 20 Jan 2018
Userid: 6851
Posts: 671
Likes: 0
Liked 4 Times in 4 Posts
Default Sejarah Islam: Bisakah Agama Dimodernisasi?

Negara-negara Barat telah mencoba—dan gagal—untuk mendikte apa yang seharusnya dilakukan Islam selama berabad-abad. Sudah saatnya mereka berhenti.

Oleh: Sameer Rahim (Prospect)

Setelah serangan di Jembatan London pada Juni lalu, Theresa May mengatakan kepada negara tersebut bahwa sebuah tanggapan militer terhadap ISIS tidak cukup. Yang dibutuhkan, katanya, adalah pertarungan gagasan. Perdana menteri tersebut menambahkan, bahwa “terlalu banyak toleransi terhadap ekstremisme,” dan bahwa komunitas tertentu—yang tersirat sebagai Muslim Inggris—tidak cukup berbuat banyak untuk mengatasi masalah ini. Mereka perlu “diberikan pemahaman” bahwa “nilai-nilai Inggris” “lebih unggul” dari “sesuatu yang ditawarkan oleh para penceramah… tentang kebencian.”

Setelah serangan semacam itu, beberapa rakyat Inggris—yang beragama apa pun—lebih memilih untuk saling menghormati berdasarkan kepatuhan hukum, atas kekacauan berdarah yang dilancarkan oleh para pelaku yang fanatik. Tapi apa tepatnya—selain menolak terorisme—yang diharapkan May, untuk membuat masyarakat Muslim “paham”? Dan bagaimana?

Pernyataannya tidak menjelaskan jawaban atas pertanyaan itu, tapi itu tidak penting. Kata-kata dan perbuatan pemerintah Inggris selama lebih dari satu dekade—atau lebih—menunjukkan dengan cukup jelas apa yang ada dalam pikirannya. Di bawah New Labor, Departemen Dalam Negeri membina hubungan dengan masyarakat Islam yang mulai pulih, untuk mempromosikan cinta mereka terhadap nilai-nilai Inggris. Pada tahun 2011, David Cameron terbang dengan pesawat jet menuju Konferensi Keamanan Munich, mengecam “toleransi pasif”, dan menyatakan “liberalisme yang jauh lebih aktif dan kuat.”

Baru-baru ini, Amanda Spielman—pengusaha wanita Konservatif yang secara kontroversial dijadikan sebagai inspektur kepala Ofsted—juga menyerukan “liberalisme yang kuat” di dalam kelas, dalam sebuah pidato yang targetnya jelas-jelas adalah Muslim yang religius. Satu narasi terlihat melalui intervensi ini—bahwa penangkal Islamisme radikal adalah modernitas Eropa, yang didefinisikan sebagai bentuk liberalisme sosial tertentu (dan, bagi Inggris, agak baru), selain ruang publik yang bebas agama.

Tapi bagaimana cara kerjanya? Apakah itu berarti bahwa 2.8 juta Muslim yang menyebut Inggris sebagai rumah, harus meninggalkan keyakinan mereka untuk dapat membaur dengan benar? Atau apakah itu berarti—yang sama bermasalahnya—negara yang memelihara liberalisme yang terpengaruh Islam, ditegakkan berdasarkan otoritas keagamaan yang disetujui secara terpusat?

Setelah serangan di Barcelona pada Agustus lalu, kolumnis Times David Aaronovitch, semakin menunjukkan ancaman liberalisme, dan mengeluarkan pendapat kedua. Bagi setiap Muslim yang tidak ingin bergabung bersama ateisme dengannya, Aaronovitch menawarkan sebuah “bentuk progresif Islam”, yang melepaskan belenggu masa lalu dan menjadi “Inggris dan modern.”

Seperti halnya kaum liberal yang kuat lainnya, dia tidak terlalu memikirkan pertanyaan mengapa Muslim mau mendengarkannya. Tapi dia mengakui bahwa pertanyaan tentang siapa yang akan memutuskan modernitas Islam semacam itu, menurutnya, sangat menjengkelkan.

Islam—setidaknya mayoritas versi Sunni-nya—tidak memiliki institusi untuk menyingkirkan inti teologis, dan tidak ada tokoh yang diakui secara universal untuk mengartikulasikan doktrin. Sebagai gantinya, kami memiliki serangkaian sekte yang beragam dengan calon pemimpin yang bersaing untuk memperoleh pengikut. Begitu banyak teks suci—Al-Qur’an dan cerita dari kehidupan Nabi Muhammad SAW, atau hadis, yang jauh lebih panjang dari Alkitab—yang bisa Anda katakan (cukup banyak) mencakup apa pun, dan Anda dapat menemukan pembenaran untuk itu.

Secara historis, Islam telah membentuk budayanya sendiri. Seniman Persia Abad Pertengahan tidak memiliki masalah menggambarkan Nabi dengan menunjukkan wajahnya—sesuatu yang tidak ada dalam tradisi Arab. Saat ini, Islam India berbeda dengan jenis Arab Saudi yang lebih keras. Kunjungi kuil Nizamuddin di Delhi, dan Anda akan menemukan pria dan wanita bernyanyi bersama—sangat berbeda dengan Mekkah. Fleksibilitas keyakinan yang luar biasa—dengan cara yang tidak dipahami oleh para liberal yang kuat—adalah bagian dari kekuatan Islam.

Para Muslim Inggris yang berpikiran terbuka, menyambut baik upaya untuk membuka diskusi keagamaan, untuk memperdebatkan isu kontroversial, mulai dari hak perempuan hingga sektarianisme. Mereka menolak dominasi para imam garis keras, dan para teroris yang mengebom kuil Sufi di Pakistan, atau membakar buku-buku abad pertengahan di Mali. Dan jika Anda tahu di mana mencarinya, Anda akan menemukan bentuk Islam Barat yang muncul.

Namun, walau saya secara pribadi antusias dengan inovasi semacam itu—biarkan seribu bunga mekar, menurut saya—namun tampaknya juga jelas bagi saya bahwa upaya mentah untuk memaksakan pembagian antara Muslim yang “baik, modern, liberal” versus Muslim “yang buruk, tua, konservatif”, sangat berbahaya dan bisa mengalahkan diri sendiri. Penyebutan sederhana semacam itu mempolitisasi setiap dorongan untuk melakukan reformasi, dan politisasi semacam itu—dalam hal ini adalah Islam yang disetujui oleh Barat sebagai Islam yang “aman”—akan lebih mengasingkan diri, dan bukannya menarik.

Ketika May dan Aaronovitch mengklaim bahwa Islam liberal adalah satu-satunya cara bagaimana Islam ditafsirkan, mereka menginjak-injak keragaman agama. Jika liberalisme yang dipaksakan berhasil menghancurkan keragaman agama, hal itu juga akan merusak pluralisme—salah satu nilai yang diyakini sebagai hak Inggris pada dasarnya. Paradoks tersebut dapat dilihat dalam karya ketua kontra-ekstremisme baru, Sara Khan, yang merupakan seorang Muslim Inggris yang telah bekerja dengan program ‘Prevent’ oleh pemerintah.

‘Prevent’ mewajibkan para pekerja sektor publik—termasuk para guru—untuk menemukan tanda-tanda radikalisasi, memetakan apa yang oleh Khan sebut dengan agak mengerikan dalam bukunya The Battle for British Islam, “ruang pra-kriminal.” ‘Prevent’ secara efektif menetapkan bentuk pemikiran yang benar—sesuatu yang harus dikhawatirkan oleh liberal yang berpikiran terbuka.

Sama halnya dengan konsep yang membingungkan, pendekatan Khan memang ditakdirkan untuk gagal dalam hal keamanan. Seperti yang dikemukakan oleh kriminolog, tidak hanya ada satu jalur menuju kekerasan: bagi beberapa orang bisa karena ideologi; bagi beberapa orang karena masalah identitas orang lain, atau ketakutan akan dominasi. Motivasinya biasanya campuran. Tapi bagi Khan, akar kekerasan selalu budaya-agama.

Ini memalukan, karena organisasinya, ‘Inspire’, melakukan kampanye yang berharga di komunitas Muslim, terutama bagi wanita. Tapi ‘Prevent’ menodai itu, dan tuntutannya akan keseragaman—”Muslim harus mendefinisikan apa yang Islam perjuangkan di era kontemporer,” katanya—membuatnya menjadi bayangan dari kaum Islamis sempit yang dia dambakan.

Ini bukanlah kekakuan Islam, seperti yang dikemukakan Khan, namun fleksibilitasnya yang menjadikannya rentan terhadap ideologi teroris. Pada masa awal pertempuran mujahidin Afghanistan melawan penjajah Soviet, keberatan agama terhadap bunuh diri membuat hampir tidak mungkin menemukan orang yang mau meledakkan dirinya. Setelah 40 tahun perang, Taliban telah mengembangkan pembenaran teologis untuk membunuh diri sendiri dan orang-orang tak berdosa yang menghalangi. Konteks mengubah semuanya. Dan selama dua abad, karena para komentator liberal yang ingin memaksakan standar mereka terhadap agama, gagal terwujud, Barat lah yang menciptakan sebagian besar konteks tersebut.




Sumber : Sejarah Islam: Bisakah Agama Dimodernisasi?
Itsaboutsoul is offline   Reply With Quote
Sponsored Links
Post New Thread  Reply

Bookmarks

Tags
islam



Similar Threads
Thread Thread Starter Forum Replies Last Post
Bisakah minus sembuh tanpa kacamata? Rimanurmala Informasi dan Pengumuman 0 2nd November 2017 03:31 PM
Bisakah Air Keras Rusakkan Ban Mobil ? anila Mobil 0 31st October 2017 10:58 AM
Pentingnya perantara dalam agama islam khamid Indonesia Membangun! 0 5th October 2017 12:54 PM
Si Pitung, Sejarah Islam, dan Idiom adinu Forum BukuKuBaca 0 13th July 2017 03:05 PM
Pedagang ini setuju Pasar Blok G diratakan dan dimodernisasi partisusanti Urban and City Development 0 4th April 2015 04:09 PM


Currently Active Users Viewing This Thread: 1 (0 members and 1 guests)
 
Thread Tools Search this Thread
Search this Thread:

Advanced Search
Display Modes

Posting Rules
You may not post new threads
You may not post replies
You may not post attachments
You may not edit your posts

BB code is On
Smilies are On
[IMG] code is On
HTML code is Off

Forum Jump


All times are GMT +7. The time now is 03:57 PM.


forumku.com is supported by and in collaboration with

forumku.com kerja sama promosi kiossticker.com 5 December 2012 - 4 Maret 2013 Web Hosting Indonesia forumku.com kerja sama promosi my-adliya.com forumku.com kerja sama promosi situsku.com

Promosi Forumku :

CakeDefi Learn to Earn

Positive Collaboration :

positive collaboration: yukitabaca.com positive collaboration: smartstore.com positive collaboration: lc-graziani.net positive collaboration: Info Blog

Media Partners and Coverages :

media partner and coverage: kompasiana.com media partner and coverage: wikipedia.org media partner and coverage: youtube.com

forumku.com
A Positive Indonesia(n) Community
Merajut Potensi untuk Satu Indonesia
Synergizing Potentials for Nation Building

Powered by vBulletin® Version 3.8.7
Copyright ©2000 - 2024, vBulletin Solutions, Inc.
Search Engine Optimisation provided by DragonByte SEO v2.0.37 (Lite) - vBulletin Mods & Addons Copyright © 2024 DragonByte Technologies Ltd.
Google Find us on Google+

server and hosting funded by:
forumku.com kerja sama webhosting dan server
no new posts