Tanah liat digunakan sebagai bahan bangunan monumental seperti candi dan gerbang kota, hingga yang sekecil kepalan tangan, juga yang suci hingga yang profan, yang ritual hingga ke benda sehari-hari. Kemampuan peradaban ini mengolah tanah liat luar biasa: beragam bentuk yang dihasilkan, juga beragam fungsi, serta beragam teknik pembakaran.
Tapi kota yang saya kunjungi ini sudah punah. Hanya ada sisa-sisanya yang terselip di antara suasana sangat tidak beradab. Inilah sisa-sisa ibu kota kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, yang diperkirakan runtuh pada masa antara 1518-1521 M.

Inilah satu-satunya bukti nyata kota Hindu-Buddha di Indonesia. Pada kerajaan-kerajaan lainnya tidak ditemukan peninggalan kota. Ada ratusan candi di Mataram Kuno (Yogya dan sekitarnya di Dataran Kedu), tetapi tidak ditemukan kotanya, meskipun prasasti mengatakan ada.
Begitu juga dengan Tarumanagara, Sriwijaya, Kediri dan Singosari. Ini pandangan yang saya terima dari Prof. Mundardjito, guru besar arkeologi. Jadi, Situs Majapahit Trowulan ini tidak ada duanya di Indonesia. Perannya sebagai salah satu tonggak sejarah perdaban di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, tidak tergantikan oleh apa pun.
Pentingnya sama dengan Borobudur, kalau tidak melebihinya.
Namun, sayangnya, mengunjungi tempat ini hanya menimbulkan rasa sedih. Museum tidak mendapatkan cahaya dan sirkulasi udara yang layak. Anak-anak berlari-lari di antara patung-patung kecil yang sangat rawan tersenggol dan kalau jatuh pasti akan pecah terbelah. Keterangan tentang masing-masing koleksi sangat minim, seadanya, dengan penyajian yang sangat tidak menarik.
Memang, di negeri ini, hampir tiap kali kita mengunjungi situs bersejarah atau museum, kita keluar dengan kesedihan mendalam. Begitu rendah sejarah diperlakukan. Padahal, jika ada satu hal yang membuat kita bangga menunjukkan kekayaan kita, hal tersebut adalah merawat dan memamerkan peninggalan sejarah kita sebaik-baiknya.